SULUK LING LUNG |
GURU SUCI TANAH JAWI
(Bagian 01)
Juni 26, 2009
SUNAN
Kalijaga mendapat gelar agung sebagai guru suci Tanah Jawi. Kocap kacarita,
Raden Mas Sahid putra kanjeg Adipati Tuban, sudah menjadi alim ulama yang
cerdik dan pandai. Bahkan beliu sudah dapat merasakan mati di dalam hidup.
Tingkatan pendakian tauhid yang sangat tinggi, dan patut diacungi jempol. Namun
beliu belum puas dengan apa yang sudah didapat. Dia mempunyai himatulaliyyah
atau cita-cita yang tinggi yaitu bertujuan inging memperoleh petunjuk diri
seseorang yang sudah menemukan hakikat kehidupan, yang nantinya dapat
mengantarkanya agar mendapat petunjuk yang dipagang para Nabi Wali atau Imam
Hidayah.
Tekadnya
semakin membaja, menyebabkan beliu melakukan perjalanan hidup yang tidak
mempedulikan dampak atau akibat apapun yang akan terjadi, nafsunya menuntut
ilmu semakin membara tak perduli samudra api menghadang. Bukankah Rasulullah
pernah bersabda, “Tuntutlah ilmu biarpun harus menyeberang samudra api!”.
Ling
lang ling lung, Raden Mas Sahid hatinya bimbang dan pikirannya bingung. Siapa
yang tidak bingung! Segala ilmu yang diketahui dan dipahami diamalkan dengan
penuh pengabdian kepada Allah, namun beliu merasa selalu tergoda oleh nafsunya,
dan merasa tidak mampu mengatasinya. Berbagai usaha ditempuh agar akhir
hidupnya nanti, mampu mengatasi nafsunya, jangan sampai terlanjur terlantur,
hanya puas makan dan tidur. Namun tetap saja dirinya merasa hatinya kalah
perang dengan nafsunya. Akhirnya beliu pasrah kepada Allah tempat berserah
diri.
Ling
lang ling lung, Raden Mas Sahid memohon kepada Allah Tuhan Yang Terpilih,
semoga dibukakan oleh Tuhan Pembuat Nyawa, agar istiqomah hatinya, selaras
dengan kehendak hatinya, jalan menuju sembah dan puji. Dan tiada putus-putusnya
dia berdoa, biarpun terselip kekhawatiran dosa dan kekhilafan yang pernah
dilakukannya semasa muda, mungkin tak termaafkan oleh Gusti Allah. Sekian lama
beliu berdoa, namun tak ada tanda-tanda terkabulnya doa. Akhirnya beliu mawas
diri. Mengapa petunjuk yang ditunggu-tunggu belum juga datang? Apakah caranya
beribadah dan bersyukur yang salah? Apakah yang dilakukan selama ini
acak-acakan tanpa dasar ilmu yaqin?
Ling
lang ling lung, akhirnya Raden Mas Sahid diam tak mau berdoa lagi. Beliu
menyendiri dan menjauhi urusan duniawi (uzlah). Buak dari laku ini, dirasanya
masih saja ada gejolak batin, saling bertengkar dua sura dalam batingnya
sendiri, bisikan Malaikat dan bisikan Syaitan. Pertentangan suaranya tidak
lantang sebagaimana layaknya orang bertengkar, tetapi pertengkaran hebat itu
tidak kunjung berhenti! Bukankah bisikan baik dan buruk saling merebut
kemenangan? Apa sih yang diperebutkan? Padahal tidak ada yang diperebutkan!
Perang batin ini, kalau diibaratkan seperti perebutan Kerajaan Ngastina oleh
Kurawa dan Pandawa yang masih termasuk keluarga sendiri atau darah daging
sendiri!
Ling
lang ling lung, Raden Mas Sahid menyadari laku uzlah yang dijalankannya tak
menghasilkan petunjuk yang diharapkan. Akhirnya tanpa malu-malu, karena didesak
oleh hasrat mengetahui petunjuk, beliu berusaha bertapa berlapar-lapar, kalau
ada teman datang, ikut makan dengan rakusnya, kalau temannya pergi tidak makan
seumur hidupnya, sebab tidak ada yang dimakan. Ling lang ling lung, menuruti
kesenangan memperindah diri, selalu meminta upah. Ling lang ling lung, Raden
Mas Sahid meminta upah dari laku bertapa berlapar-lapar ternyata tiada hasil.
Beliu akhirnya menyadari kebodohannya dan tersemyun sendiri. Mengapa sampai
teganya Dia menagih tak henti-hentinya kepada Allah, padahal tanpa piutang? Gusti
Allah yang ditagih wajar kalau diam saja, memang kenyataanya tidak berhutang!
Biarpun yang menagih datang dan pergi, semua itu tidak ada bedanya, dan Allah
Yang Maha Karya berhak tidak melunasi karena tidak pernah berhutang kepada
Raden Mas Sahid. Akhirnya beliu memutuskan diri untuk berguru dengan Kanjeng
Sunan Bonang, barangkali dengan itu, beliu dapat petunjuk iman hidayah.
Mulailah
Raden Mas Sahid berguru kepada seseorang yang tinggi ilmunya yang bersunyi diri
di Desa Bonang yang bergelar Kanjeng Sunan Bonang. Beliu mohon kepada Kanjeng
Sunan Bonang untuk ditunjukkan hakikat kehidupan. Syekh Malaya disaat mulai
berguru kepada Kanjeng Sunan Bonang diperintah bertapa menunggu pohon gurda dan
dilarang meninggalkan tempat.
Ling
lang ling lung, Syekh Malaya dapat dikatakan orang hebat, karena keinginanya
yang kuat serta tekad batinnya, tak dapat dibandingkan dengan yang lainnya.
Maklumlah beliu berdarah luhur, putra Kanjeng Adipati Tuban Wilwatikta II
bernama Raden Mas Sahid, waktu tua bergelar Sunan Kalijaga. Rupanya sudah
terlebih dahulu mendapat anugrah Kasih Sayang Gusti Allah Pencipta Nyawa yang
sudah menjadi kemulian Tuhan Yang terpilih, timbul dari kasih Sayang Allah.
Syekh
Malaya berguru menuntut ilmu sudah cukup
lama, namun merasa belum dapat manfaat yang nyata, rasanya Cuma penderitaan
yang didapat, sebab disuruh memperbanyak bertapa, oleh Kanjeng Sunan Bonang,
diperintah “menunggui pohon gurda” yang berada ditengah hutan belantara dan
tidak boleh meninggalkan tempat, sudah dilaksanakan selama setahun.
Laku
tapa yang kedua, disuruh “ngaluwat”
yaitu ditanam di tengah hutan di dalam goa Sorowiti Panceng Tuban. Setelah
setahun mulut gua yang mulanya ditutup dengan batu-batu, kemudia dibongkar oleh
Kanjeng Sunan Bonang. Kemudian laku tapa yang ketiga, yaitu “tarak brata di
tepi sungai” selama setahun, dan tidak boleh tidur ataupun makan, lalu
ditinggal ke Mekah oleh Kanjeng Sunan Bonang.
Nyatanya
sudah genap setahun, Syekh Malaya ditengok, ditemui masih tarak brata saja,
Kanjeng Sunan bonang bersabda, “wahai siswaku sudahilah tarak bratamu, kamu
mulai sekarang sudah menjadi Wali dan bergelar Sunan Kalijaga. Kamu diangkat
sebagai wali Sembilan penutup maksudnya melengkapi Wali Sanga atau Wali
Sembilan yang saat itu jumlah kurang satu wali. Tugasmu ikut menyiarkan agama
Islam dan perbaikilah ketidakaturan yang ada. Agama itu tata krama, kesopanan
untuk Kemuliaan Tuhan Yang Maha Mengetahui.
Kau
harus berpegang pada syariat Islam, serta segala ketentuan iman hidayah.
Hidayah itu dari Gusti Allah Yang Maha Agung, yang sangat besar kanugrahan-Nya
menumbuhkan kekuatan luar biasa dan keberanian, serta meliputi segala kebutuhan
perang, yang demian itu tidak lain adalah anugrah yang besar, paling utama dari
segala yang utama (keutamaan). Keutamaan ibarat bayi, siapapun ingn memelihara,
yang mencukupi bayi, menguasai pula terhadap dirimu, tapi kamu tak punya hak
menentukan, karena kau ini juga yang menentukan Gusti Allah Yang Maha Agung,
karena itu mantapkanlah hatimu dalam pasrah diri pada-Nya”.
Bersanbung
……………
—————————–
Alang
Alang Kumitir
Ditulis dalam SULUK
LING LUNG |
MERASAKAN HIDAYAH IMAN (Bagian
02)
Juni 29, 2009
Syekh
Malaya berkata lemah lembut kepada Kanjeng Sunan Bonang, “sugguh hamba sangat
bermatur nuwun, semua nasihat akan kami junjung tinggi, tapi hamba memohon pada
guru, mohon agar sekalian dijelaskan, tentang maksud sebenarnya dari sukma
luhur atau ruh yang berderajat tinggi, yang sering disebut iman hidayah. Hamba
harus mantap berserah diri kepada Gusti Allah, bagaimanakah cara melaksanakan
dengan sebenar-benarnya? Hamba mohon penjelasan yang sejelas-jelasnya. Kalau
hanya sekedar ucapan semata hamba pun mampu mengucapkannya. Hamba takut kalau
menemui kesalahan dalam berserah diri, karena menjadikan hamba ibarat asap
belaka, tanpa guna menjalankan semua yang kukerjakan.
Kanjeng
Sunan Bonang menjawab lembut, “Syekh Malaya benar ucapanmu, pada saat bertapa
kau bertemu denganku, yang dimaksud berserah diri ialah selalu ingat perilaku
atau pekerjaan, seperti ketika awal mula diciptakan, bukankah itu sama halnya
seperti asap? Itu tadi seperti hidayah wening atau petunjuk yang jernih, serupa
dengan iman hidayah, apakah itu nampak dengan sebenarnya? Namun ketahuilah
semua tidak dapat diduga sebelum mempunyai kepandaian untuk meraihnya,
kejelasan tentang hidayah, hanya keterangan yang saya percayai, karena
keterangan itu berasal dari sabda Gusti Allah”.
Berkata
Kanjeng Sunan Kalijaga, “ Kanjeng Rama Guru yang bijaksana, hamba mohon
dijelaskan, apakah maksudnya, ada nama tanpa sifat, ada sifat tanpa nama? Saya
mohon petunjuk, tinggal itu yang saya tanyakan yang terakhir kali ini saja”.
Kanjeng Sunan Bonang bersabda lemah lembut, “Kalai kamu ingin keterangan yang
jelas tuntas, matikanlah dirimu sendiri, belajarlah kamu tentang mati, selagi
kau masih hidup. Caranya bersepi dirilah kamu ke hutan rimba, dan jangan sampai
ketahuan manusia”.
Sudah
habis segala penjelasan yang disampaikan Kanjeng Sunan Bonang segera
meninggalkan tempat, dari hadapan Sunan Kalijaga, timur laut arah langkah yang dituju.
Kira-kira baru beberapa langkah berlalu, Syekh Malaya ikut meninggalkan tempat
itu, masuk kehutan belantara.
Raden
Mas Sahid menjalankan laku kidang, berbaur dengan kidang menjangan, segala
gerak laku kidang ditirunya, kecuali bila ingin tidur, ia mengikuti cara tidur
berbalik, tidak seperti tidurnya kidang. Kalau pergi mencari makan mengikuti
seperti caranya anak kidang. Bila ada manusia yang mengetahui, para kidang
berlari tunggal langgang, Sunan Kalijaga juga ikut berlari kencang jangan
sampai ketahuan manusia. Larinya dengan merangkak, seperti larinya kidang,
pontang panting jangan sampai ketinggalan, mengikuti sepak terjang kidang.
Nyata
sudah cukup setahun, Syekh Malaya menjalani laku kidang, bahkan melebihi yang
telah ditetapkan, ketika itu Kanjeng Sunan Bonang, bermaksud sholat ke Mekah,
dlam sekejap mata sudah sampai, setelah sholat segera datang kembali. Kanjeng
Sunan Bonang menuju hutan untuk memberi tahu Syekh Malaya bahwa laku kidangnya
telah selesai. Sesampai di dalam hutan ia melihat kidang sama berlari, sedang
anaknya sempoyongan mengikuti. Sunan Bonang ingat dalam hati, kalau Wali Syekh
Malaya berlaku seperti anak kidang, segera ia mendekati gerombolan kidang,
barangkali di sana ditemukan Syekh Malaya.
Syekh
Malaya yang kebutulan sedang berlaku meniru kidang tahu akan didekati gurunya.
Beliu ingat pesan gurunya, bahwa dirinya tidak boleh diketahui manusia, gurunya
juga manusia maka ia harus menghidari jangan sampai didekati manusia biarpun
oleh gurunya, larinya tunggang langgang, tanpa memperhitungkan jurang tebing,
ditubruk tidak tertangkap, dijaring dan diberi jerat, kalau kena jerat dapat
lolos, kalau kena jaring dapat melompat.
Marahlah
sang guru Kanjeng Sunan Bonang, bersumpah dalam hatinya, “Wali wadat pun aku
tak peduli, memanaskan hati kau kidang, bagiku memegang angin yang lebih lembut
saja tidak penar lolos, yang kasar akan lebih mudah ditangkap mustahil akan
gagal! Kalau tidak berhasil sekali ini, lebih baik aku tidak usah menjadi
manusia, lebih pantas kalau jadi binatang saja!”.
Kanjeng
Sunan Bonang bergerak dengan penuh amarah. Beliu berusaha menciptakan nasi tiga
kepal atau genggam. Dalam sekejap tangannya telah siap nasi 3 genggam, sgera ia
mundur ancang-ancang siap mengejar Kidang Syekh Malaya untuk melemparkanya. Kanjeng
Sunan Bonang segera menerobos ke dalam hutan yang lebih lebat dan sulit
dilewati, setelah benar-benar menemukan yang sedang laku kidang, tengah
berlari. Segera dilemparnya dengan nasi satu kepal, tepat mengenai punggungnya.
Syekh
Malaya agak lambat larinya terkena lemparan nasi sekepal. Lalu lemparan yang
kedua, mengenai lambungnya, jatuh terduduk Syekh Malaya kemudian dilempar lagi,
nasi satu kepal, Syekh Malaya ingat dan sadar kemudia berbakti pada Kanjeng
Sunan Bonang.
Syekh
Malaya berlutut hormat mencium kaki Kanjeng Sunan Bonang. Berkata sang guru
Kangjeng Sunan Bonang “Anakku ketahuilah olehmu, bila kau ingin mendapat
kepandaian, yang bersifat hidayatullah, naiklah haji, menuju Mekah dengan hati
tulus suci dan ikhlas. Ambillah air zam-zam ke Mekah, itu adalah air yang suci,
serta sekaligus mengaharapkan berkah syafaat, Kanjeng Nabi Muhammad yang
menjadi suri tauladan manusia”. Syekh Malaya berbakti, mencium kaki gurunya dan
mohon diri untuk melaksanakan tugas yaitu segera menuju Mekah. Kanjeng Sunan
Bonang lebih dahulu melangkahkan kaki menuju desa Bonang Tuban yang sepi.
Bersambung……………..
………………………….
Alang
Alang Kumitir
Ditulis dalam SULUK
LING LUNG |
NAIK HAJI KE MEKAH
(Bagian 03)
Juni 30, 2009
Syekh
Malaya menerobos hutan, naik gunung, turun jurang, tetebingan di dakinya
memutar, melintasi jurang dan tanjakan. Tanpa terasa perjalanannya telah sampai
di tepi pantai. Hatinya bingung, kesulitan menempuh jalan selanjutnya karena
terhalang oleh samudera luas, sejauh memandang tampak air semata. Dia diam
tercenung lama sekali di tepi samodera memutar otak mencari jalan yang
sebaiknya ditempuh.
Kocap
kacarita tersebutlah seorang manusia, yang bernama Sang Mahyuningrat,
mengetahui kedatangan seorang yang tengah bingung yaitu Syekh Malaya. Sang
Mahyuningrat tahu segala perjalanan yang dialami oleh Syekh Malaya dengan
sejuta keprihatinan karena ingin meraih iman hidayah. Berbagai cara telah
ditempuh, juga melalui penghayatan kejiwaan dan berusaha mengungkap berbagai
rahasia yang tersembunyi, namun mustahil dapat menemukan hidayah, kecuali kalau
mendapatkan kanugrahan Allah yang haq.
Syekh
Malaya ternyata sudah terjun merenangi samudra luas, dan tidak mempedulikan
nasib jiwanya sendiri. Semakin lama Syekh Malaya sudah hampir sampai tengah
samudra, mengikuti jalan untuk mencapai hakikat yang tertinggi dari Allah,
tidak sampai lama, sampailah di tengah samudra. Beliu kehabisan tenaga untuk
merenangi samudra menuju Mekah. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada ia berusaha
mempertahankan diri jangan sampai tenggelam di dasar laut. Yang tampak kini.
Syekh Malaya timbul-tenggelam di permukaan laut berjuang menyelamatkan
nyawanya.
Ternyata
disaat Syekh Malaya dalam keadaan yang kritis itu berjuang antara hidup dan
mati, tiba-tiba penglihatannya melihat seseorang yang sedang berjalan di atas
air dengan tenangnya, yang tidak dari mana datangnya. Seketika itu pula,
tahu-tahu Syekh Malaya sudah dapat duduk tenang diatas air.
Orang
yang mendekati Syekh Malaya tidak lain adalah Kanjeng nabi Khidir yang menyapa
Syekh Malaya dengan lemah lembut, “Syekh Malaya apakah tujuanmu mendatangi
tempat ini? Apakah yang kau harapkan? Ketahuilah di sini tidak ada apa-apa!
Tidak ada yang ditemubuktikan, apalagi untuk dimakan dan berpakaian pun tidak
ada. Yang ada hanyalah daun kering yang tertiup yang jatuh di depanku, itu yang
saya makan, kalau tidak ada tentu tidak makan. Senangkah kamu melihat kenyataan
semua itu?”.
Sunan
Kalijaga heran mengetahui penjelasan ini. Kanjeng Nabi Khidir berkata lagi
kepada Sunan Kalijaga, “Cucuku, di sini ini banyak bahayanya, kalau tidak
mati-matian berani bertaruh nyawa, tentu tidak mungkin sampai di sini. Di
tempat ini segalanya tidak ada yang dapat diharapkan hasilnya. Mengandalkan
pikiranmu saja belum apa-apa, biarpun kamu tidak takut mati. Kutegaskan sekali
lagi, di sini kau tidak mungking mendapat apa yang kau maksudkan!”.
Syekh
Malaya bingung tidak tahu apa yang harus diperbuat, dia menjawab pertanyaan
Kanjeng Nabi Khidir, bahwa dia tidak mengetahui akan langkah yang sebaiknya
perlu ditempuh setelah ini. Tidak tahu apa yang akan dilakukannya kemudian!
“Syekh Malaya pasrah diri kepada Kanjeng Nabi Khidir , katanya terasa
memilukan”. Sang guru Kanjeng Nabi Khidir menebak, “Apakah kamu juga sangat
mengharapkan hidayatullah Allah?”.
Akhirnya
Kanjeng Nabi Khidir menjelaskan, “ikutilah petunjukku sekarang ini!” “Kamu
telah berusaha menjalankan petunjuk gurumu kanjeng Sunan Bonang yang menyuruhmu
menuju kota Mekah, dengan keperluan naik haji. Maka ketahuilah olehmu, makna
tugas itu yaitu : sungguh sulit menjalankan lika-liku kehidupan ini”. “Jangan
pergi kalau belum tahu yang kau tuju dan jangan makan kalau belum tahu rasanya
yang dimakan, jangan berpakaian kalau belum tahu kegunaan berpakaian. Lebih
jelasnya tanyalah sesama manusia sekaligus dengan persamaannya, kalau sudah
jelas amalkanlah!”.
“Demikianlah
seharusnya hidup itu, ibarat ada orang dari gunung, akan membeli emas, oleh
tukang emas biarpun diberi kuningan tetap dianggap emas mulia. Demikianlah pula
dengan orang berbakti, bila belum yakin benar, pada siapakah yang harus
disembah?” Syekh Malaya ketika mendengar
itu, spontan duduk berlutut mohon belas kasihan, setelah mendapati kenyataan
Kanjeng Nabi Khidir betul-betul serba tahu yang tersimpan di hatinya. Dengan
duduk bersila dia berkata, “Yang kami dengar akan kami laksanakan apa pun
jadinya nanti. “Syekh Malaya meminta kasih sayang, memohon keterangan yang
jelas’, siapakah nama tuan? Mengapa di sini sendirian? Sang Mahyuningrat
menjawab, “sesungguhnya saya ini Kanjeng Nabi Khidir”.
Syekh
Malaya berkata, “saya menghaturkan hormat sedalam-dalamnya kepada tuan
junjunganku dan mohon petunjuk serta perlu dikasihani, saya juga tidak tahu
benar tidaknya pengabdianku ini. Tidak lebih bedanya dengan hewan di hutan,
itupun masih tidak seberapa, bila mau menyelidiki kesucian diriku ini. Dapat
dikatakan lebih bodoh dan dungu serta tercela ibarat keris tanpa kerangka dan
ibarat bacaan tanpa isi tersirat”.
Maka
berkata dengan manisnya Sang Kanjeng Nabi Khidir kepada Sunan Kalijaga. “Jika
kamu berkehendak naik haji ke Mekah, kamu harus tahu tujuan yang sebenarnya
menuju ke Mekah itu. Ketahuilah mekah itu hanya tapak tilas saja! Yaitu bekas
tempat tinggal Nabi Ibrahim zaman dahulu. Beliulah yang membangun Ka’bah
Masjidil Haram serta yang menghiasi Ka’bah itu dengan benda yang berupa batu
hitam (Hajar Aswad) yang tergantung didinding Ka’bah tanpa digantungkan. Apakah
Ka’bah itu yang hendak kamu sembah? Kalau itu yang menjadi niatmu, berarti kamu
sama halnya menyembah berhala atau bangunan yang dibuat dari batu. Perbuatanmu
itu tidak jauh berbeda dengan yang diperbuat oleh orang kafir, karena hanya
sekedar menduga-duga saja wujud Allah yang disembah, dengan senantiasa
menghadap kepada berhalanya.
Oleh
karenanya itu, biarpun kamu sudah naik haji, bila belum tahu tujuanya yang
sebenernya dari ibadah haji tentu kamu akan rugi besar. Maka dari itu,
ketahuilah bahwa Ka’bah yang sedang kau tuju itu, bukannya yang terbuat dari
tanah atau kayu apalagi batu, tetapi Ka’bah yang hendak kau kunjungi itu
sebenarnya Ka’bahtullah (Ka’bah Allah). Demikian itu sesunggunya iman hidayah
yang harus kamu yakinkan dalam hati”.
Kanjeng
Nabi Khidir memerintah, “Syekh Malaya segeralah kemari secepatnya! Masuk ke
dalam tubuhku!” Syekh Malaya terhenyak hatinya tak dapat dicegah lagi,
keluarlah tawanya, bahkan sampai mengeluarkan air mata seraya berkata halu.
“Melalui jalan manakah harus masuk ke dalam tubuhmu, padahal saya tinggi besar
melebihi tubuhmu, kira-kira cukupkah? Melalui jalan manakah usaha saya untuk
masuk? Padahal nampak olehku buntu semua?.
Kanjeng Nabi
Khidir berkata dengan lemah lembut. “Besarmana kamu dengan bumi, semua ini
beserta isinya, hutan rimba dan samudera serta gunung tidak bakal penuh bila
dimasukkan kedalam tubuhku, jangan khawatir bila tak cukup masuklah di dalam
tubuhku ini. Syekh Malaya setelah mendengarnya semakin takut sekali dan
bersedia melaksanakan tugas memasuki badan Kanjeng Nabi Khidir, namun bingung
tak tahu cara melaksanakannya. Menolehlah Kanjeng Nabi Khidir, ini jalan di
telingaku ini”.
Ditulis dalam SULUK
LING LUNG |
MUTIARA ILMU SYARIAT
(Bagian 04)
Juli 1, 2009
Syekh
Malaya masuk dengan segera melalui telinga Kanjeng Nabi Khidir. Sesampainya di
dalam tubuh Kanjeng Nabi Khidir, Syekh Malaya melihat samudera luas tiada
bertepi sejauh mata memandang, semakin diamati semakin jauh tampaknya. Kanjeng
Nabi Khidir bertanya keras-keras, “hai apay yang kamu lihat?”
Syekh
Malaya segera menjawab, “Angkasa Raya yang kuamati, kosong melompong jauh tidak
kelihatan apa-apa, kemana kakiku melangkah, tidak tahu arah utara selatan barat
timur pun tidak kami kenal lagi, bawah dan atas serta muka belakan, tidak mampu
saya bedakan. Bahkan semakin membingungkanku”.
Kanjeng
Nabi Khidir berkata lemah-lembut, “usahakan jangan sampai bingung hatimu”.
Tiba-tiba Syekh Malaya melihat suasana terang benderang. Dihadapannya nampak
Kanjeng Nabi Khidir, Syekh Malaya melihat Kanjeng Nabi Khidir malayang di udara
kelihatan memancarkan cahaya gemerlapan. Saat itu Syekh Malaya melihat arah
utara selatan, barat dan timur sudah kelihatan jelas, atas serta bawah juga
sudah terlihat dan mampu menjaringf matahari, tenang rasanya sebab melihat
Kanjeng Nabi Khidir, rasanya berada di alam yang lain dari yang lain.
Kanjeng
Nabi Khidir berkata lembut, “jangan berjalan hanya sekedar berjalan, lihatlah
dengan sungguh-sungguh apa yang terlihat olehmu”. Syekh Malaya menjawad, “Ada
warna empat macam yang nampak padaku semua itu sudah tidak kelihatan lagi,
hanya empat macam yang kuingat yaitu hitam merah kuning dan putih”.
Berkata
Kanjeng Nabi Khidir, “yang pertama kau lihat cahaya mencorong tapi tidak tahu
namanya ketahuilah itu adalah pancamaya, yang sebenarnya ada di dalam dirimu
sendiri yang mengatur dirimu. Pancamaya yang indah itu disebut mukasyafah, bila
mana kamu mampu membingbing dirimu ke dalam sifat terpuji, yaitu sifat yang
asli. Maka dari itu jangan asal bertindak, selidikilah semua bentuk jangan
sampai tertipu nafsu. Usahakan semaksimal mungkin agar hatimu menduduki sifat
asli, perhatikan terus hatimu itu, supaya tetap dalam jati diri!” Tentramlah
hati Syekh Malaya, setelah mengerti itu semua dan baru mantap rasa hatinya
serta gembira.
Kanjeng
Nabi Khidir melanjutkan penjelasannya, “adapun yang kuning, merah, hitam serta
putih itu adalah penghalanya. Sebab isinya dunia ini sudah lengkap, yaitu
terbagi kedalam tiga golongan, semuanya adalah penghalang tingkah laku, kalau
mampu menjauhi itu pasti dapat berkumpul dengan ghaib, itu yang menghalangi
meningkatkan citra diri. Hati yang tiga macam yaitu hitam, merah dan kuning,
semua itu menghalangi pikiran dan kehendak tiada putus-putusnya. Maksudnya akan
menghalangi menyatunya hamba dengan Tuhan yang membuat nyawa lagi mulia.
Jika
tidak tercampur oleh tiga hal itu, tentu terjadi hilangnya jiwa, maksudnya
orang akan mencapai tingkatan Maqom Fana dan akan masuk Maqom Baqo atau abadi.
Maksudnya senantiasa berdekatan rapat dengan Sang Pencipta. Namun yang perlu
diperhatikan dan diingat dengan seksama, bahwa penghalang yang ada dalam
dihati, mempunyai kelebihan yang perlu kamu ketahui dan sekaligus sumber inti
kekuatannya. Yang hitam lebih perkasa, pekerjaanya marah, mudah sakit hati,
angkara murka secara membabi buta. Itulah hati yang menghalangi, menutup kepada
kebajikan.
Sedangkan
yang berwarna merah, ikut menunjukkan nafsu yang tidak baik, segala keinginan
nafsu keluar dari si merah, mudah emosi dalam mencapai tujuan, hingga menutup
kepada hati yang sudah jernih tenang menuju akhir hidup yang baik (khusnul
khatimah). Adapun yang berwarna kuning, kemampuannya mengahalangi segala hal,
pikiran yang baik maupun pekerjaan yang baik. Hati kuninglah yang menghalangi
timbulnya pikiran yang baik hanya membuat kerusakan, menelantarkan ke jurang
kehancuran. Sedangkan yang putih itulah yang sebenarnya, membuat hati tenang
serta suci tanpa ini itu, pahlawan dalam kedamaian”.
Kanjeng
Nabi Khidir memberi kesempatan bagi Syekh Malaya untuk merenungkan
penjelasannya tadi. Selanjutnya beliu berkata, “hanya itulah yang dapat
dirasakan manusia akan kesaksiannya. Sesungguhnya yang terwujud adanya, hanya
menerima anugrah semata-mata dan hanya itulah yang dapat dilaksanakan. Kalau
kamu tetap berusaha agar abadi berkumpulnya diri dekat Tuhan, maka
senantiasalah menghadapi tiga musuh yang sangat kejam, besar dan tinggi hati
(bohong).
Ketiga
musuhmu saling kerjasama, padahal si putih tanpa teman, hanya sendirian saja,
makanya sering dapat dikalahkan. Kalau sekiranya dapat mengatasi akan segala
kesukaran yang timbul dari tiga hala itu, maka terjadilah persatuan erat wujud,
tanpa berpedoman itu semua tidak akan terjadi persatuan eret antara manusia dan
Penciptanya”. Syekh Malaya sudah memahaminya, dengan semangat mulai berusaha
disertai tekad membaja demi mendapatkan pedoman akhir kehidupan, demi
kesempurnaan dekatnya dengan Allah SWT.
Kanjeng
Nabi Khidir kembali melanjutkan wejanganya, “Setelah hilang empat macam warna
ada hal lain lagi nyala satu delapan warnanya”. Syekh Malaya berkata, “Apakah
namanya, nyala satu delapan warnanya, apakah namanya, nyala satu delapan
warnanya, apakah yang dimaksud sebenarnya? Nyalanya semakin jelas nyata, ada
yang tampak berubah-ubah warna menyambar-nyambar, ada yang seperti permata yang
berkilau tajam sinarnya”.
Sang
Kanjeng Nabi Khidir berpesan, “Nah, itulah sesungguhnya tunggal. Pada dirmu
sendiri sudah tercakup makna di dalamnya, rahasianya terdapat pada dirimu juga,
serta seluruh isi bumi tergambar pada tubuhmu dan juga seluruh alam semesta.
Dunia kecil tidak jauh berbeda. Ringkasnya, utara, barat, selatan, timur, atas
serta bawah. Juga warna hitam, merah, kuning dan putih itulah isi kehidupan
dunia. Didunia kecil dan alam semesta, dapat dikatakan semua isinya. Kalau
ditimbang dengan yang ada dalam dirimu dalam dirimu ini, kalau hilang warna
yang ada, dunia kelihatan kosong kesulitannya tidak ada, dikumpulkan kepada
wujud rupa yang satu, tidak lelaki tidak pula perempuan.
Sama
pula dengan bentuk yang ada ini, yang
bila dilihat berubah-ubah putih. Camkanlah dengan cermat semua itu”. Syekh
Malaya mengamati, “yang seperti cahaya berganti-ganti kuning, cahayanya terang
benderang memancar, melingkar mirip pelangi, apakah itu yang dimaksudkan wujud
dari Dzat yang dicari dan didambakan? Yang merupakan hakikat wujud sejati?”
Kanjeng
Nabi Khidir menjawab dengan lemah lembut, “itu bukan yang kau dambakan, yang
dapat mmenguasai segala keaadaan. Yang kamu dambakan tidak dapat kamu lihat,
tiada bentuk apalagi berwarna, tidak berwujud garis, tidak dapat ditangkap
mata, juga tidak bertempat tinggal hanya dapat dirasakan oleh orang yang awas
mata hatinya, hanya berupa pengambaran-pengambaran (simbol) yang memenuhi jagad
raya, dipegang tidak dapat. Bila itu yang kamu lihat, yang nampak seperti
berubah-ubah putih, yang terang benderang sinarnya, memancarkan sinar yang
menyala-nyala. Sang Permana itulah sebutannya.
Hidupnya
ada pada dirimu. Permana itu menyatu pada dirmu sendiri, tetapi tidak merasakan
suka dan duka, tempat tinggalnya pada ragamu. Tidak ikut suka dan duka, juga
tidak ikut sakit dan menderita jika Sang Permana meninggalkan tempatnya, raga
menjdi tak berdaya dan pastilah lemahlah seluruh badanmu, sebab itulah letak
kekuatannya, ikut merasakan kehidupan, yang mengerti rahasia di dunia. Dan
itulah yang sedang mengenai pada dirimu, seperti diibaratkan pula pada hewan,
yang tumbuh di sekitar raga.
Hidupnya
karena adanya Permana, dihidupi oleh nyawa yang mempunyai kelebihan, mengusai
seluruh badan. Permana itu bila mati ikut menggung, namun bila bila telah
hilang nyawanya kemudian yang hidup hanya sukma atau nyawa yang ada. Kehilangan
itulah yang didapatkan, kehidupan nyawalah yang sesungguhnya, yang sudah
berlalu diibaratkan seperti rasanya pohon yang tidak berbuah, sang Permana yang
mengetahui dengan sadar, sesungguhnya satu asal.
Menjawablah
Syekh Malaya, “Kalau begitu manakah warna bentuk sebenarnya?” kanjeng Nabi
Khidir berkata, “Hal itu tidak dapat kamu pahami di dalam keadaan nyata
semata-mata, tidak semudah itu untuk mendapatkannya”, Syekh Malaya menyela
pembicaraan< “Saya mohon pelajaran lagi, sampai saya paham betul, sampai
putus. Saya menyerahkan hidup dan mati, demi mengharapkan tujuan yang pasti,
jangan sampai tanpa hasil”.
Kanjeng
Nabi Khidir berkata lembut dan manis yang isinya bercampur perlambang dan
sindiran, “Misalnya ada orang membicarakan sesuatu hal, lotnya seharusnya baik,
nyatanya lotnya justru merupakan bumbunya yang bercampur dengan rahasia yang
terasa sebagai jiwa suci. Nubuwah yang penuh rahasia itu sebenarnya rahasia
ini. Yaitu ketika masih berada di sifat jamal ialah jauhar awal. Bila sudah
keluar menjadi jauhar akhir yang sudah dewasa, yang awal itulah rahasia sejati.
Si jauhar akhir itu ternyata dalam satu wujud, satu mati dan satu hidup dengan
jauhar, ketika dalam kesatuan satu wujud, satu raksa, satu hidup menyatu dalam
keadaan sehidup-semati.
Segala
ulah jauhar akhir selamanya bersikap pasrah, sedangkan jauhar batin ini ialah
yang dipuji dan disembah hanyalah Allah yang sejati. Tidak ada sama sekali rasa
sakit karena sebenarnya kamu ini nukad ghaib. Nukad ghaib ialah ketika di masa
awal atau kuna, ia tidak hidup juga tidak mati. Sebenarnya yang dikatakan nukad
itu, tidak lain ghaib jugalah namanya itu. Setelah datangnya nukad itu, yang
sudah hidup sejak dulu, dicipta menjadi Alif. Alif itu sendiri jisim latif. Dan
keberadaanmu yang sebenarnya itulah yang disebut atau dinamakan neqdu”.
Sambil
menghela nafas Kanjeng Nabi Khidir berkata pelan, “Sekarang jauhar sejati,
yaitu namamu itu semasa hidup ialah syahadat jati. Dalam hidup dan kehidupanmu
disebut juga darah hidup. Darah hidup itu sendiri ialah yang dinamakan
Rasulullah rasa sejati. Syahadat jati adalah darah, tempat segala Dzat atau
makhluk merasakan rasa yang sebenarnya tentang hidup dan kehidupan. Yang sama
dengan satuan Jibril-Muhammad-Allah. Sedangkan keempatnya adalah yang disebut
darah hidup. Jelasnya coba perhatikan orang mati! Apa daranya? Darah itu kini
hilang, hilangnya bersama atau menyatu dengan sukma. Sukma atau ruh hilang dan
kembali pada Alif itu disebut Ruh Idhafi. Pengertian jisim Latif ialah Jisim
Angling yang sudah ada terdahulu kala yaitu Alif yang disebut Angling. Padahal
alif itu tanpa mata, tidak berkata-kata dan tidak mendengar, tanpa perilaku dan
tidak melihat. Dan itulah Alif, yang artinya, menjadi Alif itu karena
dijabarkan atau dikembangkang. Bukankah ruh Idhafi itu bagian Dzatullah”?.
Setelah
mengajarkan semua pelajaran sampai selesai, tentang Ruh Idhafi yang menjadi
inti pembahasannya. Kanjeng Nabi Khidir berkata, “Adapun wujud sesungguhnya
alif itu, asal muasalnya berasal dari jauhar alif itu. Yang dinamakan Kalam
Karsa. Timbullah hasrat kehendak Allah untuk menjadikan terwujudnya dirimu.
Dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya Allah dengan sesungguhnya.
Allah tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal
kejadian dirinya, saya berani memastikan bahwa orang itu tidak akan
membanggakan dirinya sendiri! Adapu sifat jamal (sifat yang bagus) itu ialah,
sifat yang selalu berusaha menyebutkan bahwa pada dasarnya adanya dirinya itu,
karena adanya yang mewujudkan keberadannya”.
Kanjeng
Nabi Khidir menandaskan penjelsannya, “Demikianlah yang difirmankan Allah
kepada Nabi Muhammad yang menjadi kekasih-Nya, bunyi firman-Nya sebagai berikut
: kalau tidak ada dirimu, Saya (Allah) tidak akan dikenal atau disebut. Hanya
dengan sebab adanya kamulah yang menyebut akan keberadaan-Ku. Sehingga
kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya Aku (Allah), menjadikan ada
dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya wujud Dzat-Ku.
Dan
untuk menjelaskan jati dirmu, tidakkah kau sadari, bahwa hampir ada persamaan
Asma-Ku yang baik (Asmaul Husna) dengan sebutan manusia yang baik itu semua kau
maksudkan untuk memudahkan pengambaran perwujudan tentang Diri-Ku.
Padahal
kau tahu, Aku berada dengan dirimu, yang tak mungkin dapat disamakan satu sama
lain. Dan kamu pasti mengalami dan tidak mungkin dapat melukiskan atau
menyebutkan Asma-Ku dengan setepat-tepatnya. Namamu yang baik dapat menyerupai
nama-Ku yang baik (Asmaul Husna)”. Selanjutnya Kanjeng Nabi Khidir bertanya,
“Apakah kamu sudah dapat meraih sebutan nama yang baik itu? Baik di dunia
maupun di akhirat? Kamu ini merupakan penerus atau pewaris Muhammad Rasulullah,
sekaligus Nabi Allah. Ya Illahi, ya Allah ya Tuhanku……”.
Kanjeng
Nabi Khidir mengakhiri pembacaan Firman Allah SWT, kemudian melanjutkan memberi
penjelasan pada Sunan Kalijaga, “Tanda-tanda adanya Allah itu, ada pada dirimu
sendiri harap direnungkan dan diingat betul. Asal mula Alif itu akan menjadikan
dirimu bersusah-payah selagi hidup, Budi Jati sebutannya. Yang tidak terasa,
menimbulkan budi atau usaha untuk mengatasi lika-liku kehidupan. Bagi orang
yang senang membicarakan dan memuji dirinya sendiri, akan dapat melemahkan
semangat usahanya, antara tidak dan ya, penuh dengan kebimbangan. Sedang yang
dimaksudkan dengan jauhar budi (mutiara budi) ialah, bila sudah mengetahui
maksud dan budi iman yaitu menjalankan segala tingkah laku dengan didasari
keimanan kepada Allah. Alif tercipka karena sudah menjadi ketentuan yang sudah
digariskan. Sesungguhnya Alif itu, tetap kelihatan apa adanya dan tidak dapat
berubah. Itulah yang disebur Alif. Adapun bila terjadi perubahan, itulah yang
disebut Alif Adi, yang menyesuaikan diri dengan keadaanmu Mutiara awal
kehidupan (jauhar awal) dimaksudkan dengan kehidupan tempo dulu yang
betul-betul terjadisebagaimana tinja junub dan jinabat. Jauhar awal ibarat
bebauan atau aroma akan tiba saatnya, tidak boleh tidak akan kita laksanakan
dan rasakan di dalam kehidupan kita didunia. Jelasnya, kehidupan yang telah
digariskan sebelumnya oleh jauhar itu, telah memuat garis hidup dan mati kita.
Segalanya telah ditentukan di dalam jauhar awal.
Dari
keterangan tentang jauhar awal tadi, tentu akan menimbulkan pertanyaan,
diantaranya, mengapa kamu wajib shalat di dalam dunia ini? Penjelasannya
demikian : Asal mula diwajibkan menjalankan shalat itu ialah disesuaikan dengan
ketentuan di zaman azali, kegaiban yang kau rasakan, bukankah juga berdiri
tegak, bersidakep mencipkatakan keheningan hati, bersidekep menyatukan
konsentrasi, menyatukan segala gerakmu? Ucapanmu juga kau satukan, akhirnya kau
rukuk tunduk kepada yang menciptakanmu.
Merasa
sedih karena malu, sehingga menimbulkan keluar air matamu yang jernih, sehingga
tenanglah segala kehidupan ruhmu. Rhasia iman dapat kau resapi. Setelah
merasakan semua itu, mengapa harus sujud ke bumi? Pangkal mula dikerjakan sujud
bermula adanya cahaya yang memberi pertanda pentingnya sujud. Yaitu merasa
berhadapan dengan wujud Allah, biarpun tidak dapat melihat Allah sesungguhnya,
dan yakin bahwa Allah melihat segala gerak kita (pelajaran tentang ikhsan).
Dengan
adanya agama Islam yang dimaksudkan, agar makhluk yang ada di bumi dan di
langit termasuk dirimu itu, beribadah sujud kepada Allah dengan hati yang ikhlas
sampai kepala diletakkan di muka bumi, sehingga bumi dengan segala keindahannya
tidak tampak dihadapanmu, hatimu hanya ingat Allah semata-mata. Ya demikianlah
seharusnya perasaanmu, senantiasa merasa sujud dimuka bumi ini. Mengapa pula
menjalankan duduk diam seakan-akan menunggu sesuatu? Melambungkan pengosongan
diri dengan harapan ketemu Allah. Padahal sebenarnya itu tidak dapat
mempertemukan dengan Allah. Allah yang kau sembah itu betul-betul ada. Dan
hanya Allah-lah tempat kamu mengabdikan diri dengan sesungguhnya.
Dan
janganlah sekali-kali dirimu menggap sebagai Allah. Dan dirimu jangan pula
menganggap sebagai Nabi Muhammad. Untuk menemukan rahasia (rahsa) yang
sebenarnya herus jeli, sebab antara rahasia yang satu berbeda dengan rahasia
yang lain. Dari Allah-lah Nabi Muhammad mengetahui segala rahasia yang
tersembunyi. Nabi Muhammad sebagai makhluk yang dimuliakan Allah. Beliu sering
menjalankan puasa. Dan akan dimuliakan makhluk-Nya, kalau mau mengeluarkan
shodagoh. Dimuliakan makhluk-Nya bagi yang dapat naik haji. Dan makhluk-Nya
akan dimuliakan, kalau melakukan ibadah shalat”.
Bersambung……………..
…………………………..
Alang
alang kumitir
Ditulis dalam SULUK
LING LUNG |
MUTIARA ILMU MAKRIFAT
(Bagian 05)
Juli 4, 2009
Kanjeng
Nabi Khidir berhenti sejenak, lalu berkata “matahari berbeda dengan bulan,
perbedaannya terdapat pada cahaya yang dipancarkannya. Sudahkah hidayah iman
terasa dalam dirimu? Tauhid adalah pengetahuan penting untuk menyembah pada
Allah, juga makrifat harus kita miliki untuk mengetahui kejelasan yang
terlihat, ya ru’yat (melihat dengan mata telanjang) sebagai saksi adanya yang
terlihat dengan nyata. Maka dari itu kita dalami sifat dari Allah, sifat Allah
yang sesungguhnya, Yang Asli, asli dari
Allah. Sesungguhnya Allah itu, allah yang hidup. Segala afalnya
(perbuatanya) adalah bersal dari Allah. Itulah yang dimaksud dengan ru’yati.
Kalau hidupmu senantiasa kamu gunakan ru’yat, maka itu namanya khairat
(kebajikan hidup). Makrifat itu hanya ada di dunia. Jauhar awal khairat
(mutiara awal kebajikan hidup), sudah berhasil kau dapatkan.
Untuk
itu secara tidak langsung sudah kamu sudah mendapatkan pengawasan kamil
(penglihatan yang sempurna). Insan Kamil (manusia yang sempurna) berasal dari
Dzatullah (Dzatnya Allah). Sesungguhnya ketentuan ghaib yang tersurat, adalah
kehendak Dzat yang sebenarnya. Sifat Allah berasal dari Dzat Allah. Dinamakan
Insan Kamil kalau mengetahui keberadaan Allah itu. Bilamana tidak tertulis
namamu, di dalam nuked ghaib insan kamil, itu bukan berarti tidak tersurat. Ya,
itulah yang dinamakan puji budi (usaha yang terpuji). Berusaha memperbaiki
hidup, akan menjadikan kehidupan nyawamu semakin baik. Serta badannya, akan
disebut badan Muhammad, yang mendapat kesempurnaan hidup”.
Syekh
Malaya berkata lemah lembut, “mengapa sampai ada orang mati yang dimasukkan
neraka? Mohon penjelasan yang sebenarnya”.
Kanjeng
Nabi Khidir berkata dengan tersemyum manis, “Wahai Malaya! Maksudnya begini.
Neraka jasmani juga berada di dalam dirimu sendiri, dan yang diperuntukkan bagi
siapa saya yang belum mengenal dan meniru laku Nabiyullah. Hanya ruh yang tidak
mati. Hidupnya ruh jasmani itu sama dengan sifat hewan, maka akan dimasukkan ke
dalam neraka. Juga yang mengikuti bujuk rayu iblis, atau yang mengikuti nafsu
yang merajalela seenaknya tanpa terkendali, tidak mengikuti petunjuk Gusti
Allah SWT. Mengandalkan ilmu saja, tanpa memperdulikan sesama manusia keturunan
Nabi Adam, itu disebut iman tadlot. Ketahuilah bahwa umat manusia itu termasuk
badan jasmanimu. Pengetahuan tanpa guru itu, ibarat orang menyembah tanpa
mengetahui yang disembah. Dapat menjadi kafir tanpa diketahui, karena yang
disembah kayu dan batu, tidak mengerti apa hukumnya, itulah kafir yang bakal
masuk neraka jahanam.
Adapun
yang dimaksudkan Rud Idhafi adalah sesuatu yang kelak tetap kekal sampai akhir
nanti kiamat dan tetap berbentuk ruh yang berasal dari ruh Allah. Yang dimaksud
dengan cahaya adalah yang memancar terang serta tidak berwarna, yang senantiasa
meserangi hati penuh kewaspadaan yang selalu mawas diri atau introspeksi
mencari kekurangan diri sendiri serta mempersiapkan akhir kematian nanti.
Merasa sebagai anak Adam yang harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan.
Ruh Idhafi seudah ada sebelum tercipta. Syirik itu dapat terjadi, tergantung
saat menerima sesuatu yang ada, itulah yang disebut Jauhar Ning. keenamnya
jauhar awal. Jauhar awal adalah mutiara ibaratnya.
Mutiara
yang indah penghias raga agra nampak menarik. Mutiara akan tampak indah
menawan. Bermula dari ibarat ketujuh, dikala mendengarkan sabda Allah, maka Ruh
Idhafi akan menyesuaikan, yang terdapat di dalam Dzat Allah Yang Mutlak. Ruh
serba psrah kepada Dzatullah, itullah yang dimaksudkan Ruh Idhafi. Jauhar awal
itu pula, yang menimbulkan Shalat Daim. Shalat Daim tidak perlu mengunakan air
wudhu, untuk membersihkan khadas tidak disyaratkan. Itulah shalat batin yang
sebenarnya, diperbolehkan makan tidur syahwat maupun buang kotoran.
Demikianlah
tadi cara shalat Daim. Perbuatan itu termasuk hal terpuji, yang sekaligus
merupakan perwujudan syukur kepada Allah. Jauhar tadi bersatu padu
menghilangkan sesuatu yang menutupi atau mempersulit mengetahui keberadaan
Allah Yang Terpilih. Adanya itu menujukkan adanya Allah, yang mustahil kalau
tidak berwujud sebelumnya.
Kehidupan
itu seperti layar dengan wayangnya, sedang wayang itu tidak tahu warna dirinya.
Akibat junub sudah bersatu erat tetap bersih badan jisimmu. Adapun Muhammad
badan Allah. Nama Muhammad tidak pernah pisah dengan nama Allah. Bukakah
hidayah itu perlu diyakini? Sebagai pengganti Allah? Dapat pula disebut utusan
Allah. Nabi Muhammad juga termasuk badan mukmin atau orang yang beriman. Ruh
mukmin identik pula dengan Ruh Idhafi dalam keyakinanmu. Disebut iman maksum,
kalau sudah mendapat ketetapan sebagai panutan jati. Bukankah demikian itu pengetahuanmu?
Kalau tidak hidup begitu, berarti itu sama dengan hewan yang tidak tahu adanya
sesuatu di masa yang telah lewat. Kelak, karena tidak mengetahui ke-Islaman,
maka matinya tersesat, kufur serta kafir badannya. Namun bagi yang telah
mendapatkan pelajaran ini, segala permasalahan dipahamilebih seksama baru
dikerjakan, Allah itu tidak berjumlah tiga. Yang menjadi suri tauladan adalah
Nabi Muhammad.
Bukankah
sebenarnya orang kufur itu, mengingkari empat masalah prinsip. Di antaranya
bingung karena tiada pedoman manusia yang dapat diteladani. Kekafiran
mendekatkan pada kufur kafir. Fakhir dekat dengan kafir. Sebabnya karena kafir
itu, buta dan tuli tidak mengerti tentang surga dan neraka. Fakhir tidak akan
mendekatkan pada Tuhan. Tidak mungkin terwujud pendekatan ini, tidak menyembah
dan memuji, karena kekafirannya. Seperti itulah kalau fakhir terhadap
Dzatullah. Dan sesungguhnya Gusti Allah, mematikan kefakhiran manusia,
kepastianny ada di tanga Allah semata-mata.
Adapun
wujud Dzatullah itu, tidak ada stu makhluk pun yang mengetahui kecuali Allah
sendiri. Ruh Idhafi menimbulkan iman. Ruh Idhafi berasal dari Allah Yang Maha
Esa, itulah yang disebut iman tauhid. Meyakini adanya Allah juga adanya
Muhammad sebagai Rasulullah. Tauhid hidayah yang sudah ada padamu, menyatu
dengan Tuhan Yang Terpilih. Menyatu dengan Gusti Allah, baik di dunia maupun di
akhirat. Dan kamu harus menyatu bahwa Gusti Allah itu ada dalam dirimu. Ruh
Idhafi ada di dalam dirimu. Makrifat itu sebutannya.
Hidupnya
disebut Syahadat, hidup tunggal didalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya.
Rukuk berarti dekat dengan Tuhan Pilihan. Penderitaan yang selalu menyertai
menjelang ajal tidak akan terjadi padamu, jangan takut menghadapi sakaratil
maut. Jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu dengan Allah. Perasaan
takut itulah yang disebut dengan sekarat.
Ruh
Idhafi tidak akan mati. Hidup mati, mati hidup. Akuilah sedalam-dalamnya bahwa
keberadaanmu itu, terjadi karena Allah itu hidup dan menghidupi dirimu, dan
menghidupi segala yang hidup. Sastra Alif (huruf alif) harus dimintakan
penjelasannya pada guru. Jabar jer-nya pun harus berani susah payah
mendalaminya. Terlebih lagi poengetahuan tentang kafir dan syirik! Sesungguhnya
semua itu, tidak dapat dijelaskan dengan tepat maksud sesungguhnya. Orang yang
menjelaskan syariat itu berarti sudah mendapatkan anugrah sifat Gusti Allah.
Sebagai sarana pengabdian hamba kepada Gusti Allah. Yang menjalankan shalat
sesungguhnya raga. Raga yang shalat itu terdorong oleh adanya iman yang hidup
pada diri orang yang menjalankannya.
Seandainya
nyawa tidak hidup, maka Lam Tamsyur (maka tidak akan menolong) semua perbuatan
yang dijalankan. Secara yang tersurat, shalat itu adalah perbuatan dan kehendak
orang yang menjalankan, namun sebenarnya Allah-lah yang berkehendak atas
hambanya. Itulah hakikat dari Tuhan penciptanya. Ruh Idhafi berada di tangan
orang mukmin. Semua ruh berada di tangan-Nya. Yaitu terdapat pada Ruh Idhafi.
Ruh Idhafi adalah sifat jamal (sifat yang bagus atau indah) keindahan yang berasal
Dzatullah. Ruh Idhafi nama sebuah tingkatan (maqom), yang tersimpan pada diri
utusan Allah (Rasulullah). Syarat jisim lathif (jasad halus itu, harus tetap
hidup dan tidak boleh mati.
Cahayanya
berasal dari ruh itu, yang terus menerus meliputi jasad. Yang mengisayaratkan
sifat jalal (sifat yang perkasa) dan sekaligus mengisyaratkat adanya sifat
jamal (sifat keindahan). Jauhar awal mayit (mutiara awal kematian) itu, memberi
isyarat hilangnya diri ini. Setelah semua menemui kematian di dunia, maka akan berganti
hidup di akherat. Kurang lebih tiga hari perubahan hidup itu pasti terjadi.
Asal mula manusia terlahir, dari adanya Ayah, Ibu serta Tuhan Yang Maha
Pencipta. Satu kelahiran berasal dari tiga asal lahir.
Ya,
itulah isyarat dari tiga hari. Setelah dititipkan selama tujuh hari, maka
dikembalikan kepada yang meninipkan (yang memberi amanat). Titipan itu harus
seperti sedia kala. Bukankah tauhid itu sebagai srana untuk makrifat? Titipan
yang ketiga puluh hari, itu juga termasuk juga titipan, yang ada hanya
kemiripan dengan yang tujuh hari. Kalau
menangis mengeluarkan air mata karena menyesali sewaktu masih hidup. Seperti
teringat semasa kehidupan itu berasal dari Nur. Yang mana cahayanya mewujudkan
dirimu. Hal itulah yang menimbulkan kesedihan dan penyesalan yang
berkepanjangan. Tak terkecuali siapun yang merasakan itu semua, sebagaimana
kamu mati, saya merasa kehilangan.
Mati
atau hilang bertepatan hari kematian yang keempat puluh hari. Bagaimanakah yang
lebih tepat untuk melukiskan persamaan sesama makhluk hidup secara
keseluruhannya? Allah dan Muhammad semuannya berjumlah satu. Seratuspun dapat
dilukiskan seperti satu bentuk, seperti diibaratkan dengan adanya cahaya yang
bersember dari cahaya Muhammad yang sesungguhnya. Sama hal pada saat kamu memohon
sesuatu. Ruh jasad hilang di dalamnya, kehadirat Tuhan Yang Maha Pemberi. Tepat
pada hari keseribu, tidak ada yang tertinggal. Kembalinya pada allah sudah
dalam keaadaan yang sempurna. Sempurna seperti mula pertama dalam keadaan yang
sempurna. Sempurna seperti mula pertama diciptakan”.
Syekh
Malaya terang hatinya, mendengarkan pelajaran yang baru diterima dari gurunya
Syekh Mahyuningrat Kanjeng Nabi Khidir. Syekh Malaya senang hatinya sehingga
beliu belum mau keluar dari dalam tubuh Kanjeng Nabi Khidir. Syekh Malaya
menghaturkan sembah, sambil berkata manis seperti gula madu. “Kalau begitu
hamba tidak mau keluar dari raga dalam tuan. Lebih nyaman di sini saja yang
bebas dari sengsara derita, tiada selera makan tidur, tidak merasa ngantuk dan
lapar, tidak harus bersusah payah dan bebas dari rasa pegal dan nyeri. Yang
terasa hanyalah rasa nikmat dan manfaat”. Kanjeng Nabi Khidir memperingatkan,
“yang demikian tidak boleh kalau tanpa kematian”.
Kanjeng
Nabi Khidir semakin iba kepada pemohon yang meruntuhkan hatinya. Kata Kanjeng
nabi Khidir, “kalau begitu yang awas sajalah terhadap hambatan upaya. Jangan
sampai kau kembali. Memohonlah yang benar dan waspada. Anggaplah kalau sudah
kau kuasai, jangan hanya digunakan dengan dasar bila ingat saja, karena hal itu
sebagai rahasia Allah. Tidak diperkenankan mengobrol kepada sesama manusia,
kalau tanpa seizin-Nya! Sekiranya akan ada yang mempersolakan, memperbincangkan
masalah ini! Jangan sampai terlanjur! Jangan sampai membanggakan diri! Jangan
peduli terhadap gangguan, cobaan hidup! Tapi justru terimalah dengan sabar!
Cobaan hidup yang menuju kematian, ditimbulkan akibat buah pikir. Bentuk yang
sebenarnya ialah tersimpan rapat di dalam jagadmu! Hidup tanpa ada yang
menghidupi kecuali Allah saja.
Tiada
antara lamanya tentang adanya itu. Bukankah sudah berada di tubuh? Sungguh,
bersama lainnya selalu ada dengan kau! Tak mungkin terpisahkan! Kemudian tidak
pernah memberitahunakan darimana asalnya dulu. Yang menyatu dalam gerak
perputaran bawana. Bukankah berita sebenarnya sudah ada padamu? Cara
mendengarnya adalah denga ruh sejati, tidak menggunakan telinga. Cara
melatihnya, juga tanpa dengan mata. Adpun telingannya, matanya yang diberikan
oleh allah. Ada padamu itu. Secara batinnya ada pada sukma itu sendiri. Memang
demikianlah penerapannya. Ibarat seperti batang pohon yang dibakar, pasti ada
asap apinya, menyatu dengan batang pohonnya. Ibarat air dengan alunnya.
Seperti
minyak dengan susu, tubuhnya dikuasai gerak dan kata hati. Demikian pun dengan
Hyang Sukma, sekiranya kita mengetahui wajah hamba Tuhan dan sukma yang kita
kehendaki ada, diberitahu akan tempatnya seperti wayang ragamu itu. Karena
datanglah segala gerak wayang. Sedangkan panggungnya jagd. Bentuk wayang adalah
sebagai bentuk badan atau raga. Bergerak bila digerakkan. Segala-galanya tanpa
kelihatan jelas, perbuatan dengan ucapan. Yang berhak menentukan semuanya,
tidak tampak wajahnya. Kehendak justru tanpa wujud dalam bentuknya. Karena
sudah ada pada dirimu. Permisalan yang jelas ketika berhias.
Yang
berkaca itu Hyang Sukma, adapun bayangan dalam kaca itu ialah dia yang bernama
manusia sesungguhnya, terbentuk di dalam kaca. Lebih besar lagi pengetahuan
tentang kematian ini dibandingkan dengan kesirnaan jagad raya, karena lebih
lembutseperti lembunya air. Bukankah lebih lembut kematian manusia ini? Artinya
lembut kesirnaan manusia? Artinya lebih dari, karena menentukan segalanya.
Sekali lagi artinya lembut ialah sangat kecilnya. Dapat mengenai yang kasar dan
yang kecil. Mencakup semua yang merangkak, melata tiada bedanya, benar-benar
serba lebih. Lebih pula dalam menerima perintah dan tidak boleh mengandalkan
pada ajaran dan pengetahuan. Karena itu bersungguh-sungguhlah menguasainya.
Pahamilah liku-liku solah tingkah kehidupan manusia! Ajaran itu sebagai ibarat
benih sedangkan yang diajari ibarat lahan.
Misal
kacang dan kedelai. Yang disebar di atas batu. Kalau batunya tanpa tanah pada
saat kehujanan dan kepanasan, pasti tidak tidak akan tumbuh. Tapi bila kau
bijaksana, melihatmu musnahkanlah pada matamu! Jadikanlah penglihatanmu sukma
dan rasa. Demikian pula wujudmu, suaramu. Serahkan kembali kepada yang Empunya
suara! Justru kau hanya mengakui saja sebagai pemiliknya. Sebenarnya hanya
mengatasnamai saja. Maka dari itu kau jangan memiliki kebiasaan yang
menyimpang, kecuali hanya kepada Hyang Agung. Dengan demikian kau Hangraga
Sukma. Yaitu kata hatimu sudah bulat menyatu dengan kawula Gusti. Bicarakanlah
manurut pendapatmu! Bila pendapatmu benar-benar meyakinkan, bila masih
merasakan sakit dan was-was, berarti kejangkitan bimbang yang sebenarnya. Bila
sudah menyatu dalam satu wujud. Apa kata hatimu dan apa yang kau rasakan. Apa
yang kau pikir terwujud ada. Yang kau cita-citakan tercapai. Berarti sudah
benar untukmu. Sebagai upah atas kesanggupanmu sebagai khalifah di dunia. Bila
sudah memahami dan menguasai amalan dan ilmu ini, hendaknya semakin cermat dan
teliti atas berbagai masalah.
Masalah
itu satu tempat dengan pengaruhnya. Sebagai ibaratnya sekejap pun tak boleh
lupa. Lahiriah kau landasilah dengan pengetahuan empat hal. Semuanya
tanggapilah secara sama. Sedangkan kelimanya adalah dapat tersimpan dengan
baik, berguna dimana saja! Artinya mati di dalam hidup. Atau sama dengan hidup
di dalam mati. Ialah hidup abadi. Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang
menjalani mati. Tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud.
Raga sukma, sukma muksa. Jelasnya mengalami kematian! Syekh Malaya, terimalah
hal ini sebagai ajaranku dengan senang hatimu! Anugrah berupa wahyu akan datang
kepadamu. Seperti bulan yang diterangi cahaya temaram. Bukankah turnya wahyu
meninggalkan kotoran? Bersih bening, hilang kotorannya”.
Kemudian
Kanjeng Nabi Khidir berkata dengan lembut dan tersenyum. “Tak ada yang dituju,
semua sudah tercakup haknya. Tidak ada yang diharapkan dengan keprawiraan,
kesaktian semuanya sudah berlalu. Toh semuanya itu alat peperangan”. Habislah
sudah wejangan Kanjeng Nabi Khidir. Syekh Malaya merasa sungkan sekali di dalam
hati. Mawas diri ke dalam dirinya sendiri. Kehendak hati rasanya sudah mendapat
petunjuk yang cukup. Rasa batinya menjelajah jagad raya tanpa sayap. Keseluruh
jagad raya, jasadnya sudah terkendali. Menguasai hakekat semua ilmu. Misalnya
bunga yang masih lam kuncup, sekarang sudah mekar berkembang dan baunya
semerbak mewangi. Karena sudah mendapat san Pancaretna, kemudian Sunan Kalijaga
disuruh kelura dari raga Kanjeng Nabi Khidir kembali ke alamnya semula”.
Lalu
Kanjeng Nabi Khidir berkata, “He, Malaya. Kau sudah diterima Hyang Sukma.
Berhasil menyebarkan aroma Kasturi yang sebenarnya. Dan rasa yang memanaskan
hatimu pun lenyap. Sudah menjelajahi seluruh permukaan bumi. Artinya godaan
hati ialah rasa qonaah yang semakin dimantapkan. Ibarat memakai pakaian sutra
yang indah. Selalu mawas diri. Semua tingkah laku yang halus. Diserapkan
kedalam jiwa, dirawat seperti emas. Dihiasi dengan keselamatan, dan dipajang
seperti permata, agar mengetahui akan kemauan berbagai tingkah laku manusia.
Perhaluslah budi pekermu atau akhlak ini! Warna hati kita yang sedang mekar
baik, sering dinamakan Kasturi Jati. Sebagai pertanda bahwa kita tidak mudah
goyah, terhadap gerak-gerik, sikap hati yang ingin menggapai sesuatu tanpa
ilmu, ingin mendalami tentang ruh itu justru keliru. Lagi pula secara penataan,
kita itu ibaratnya busana yang dipakai sebagai kerudung. Sedangkan yang ikat
kepala sebagai sarungmu. Kemudian terlibat ingatan ketika dulu. Ibarat
mendalami mati ketika berada di dalam rongga ragaku.
Tampak
oleh Sunan Kalijaga cahaya. Yang warnanya merah dan kuning itu, sebagai
hambatan yang menghadang agar gagal usaha atauu ikhtiar atau cita-citanya. Dan
yang putih di tengah itulah yang sebenarnya harus diikuti. Kelimanya harus
tetap diwaspadai. Kuasailah seketika jangan sampai lupa! Bisa dipercaya
sifatnya. Berkat kesediaanku berbuat sebagai penyekat. Untuk alat pembebas
sifat berbangga diri. Yang selalu didambakan siang dan malam. Bukankah aku
banyak sekali melekat atau mengetahui caranya pemuka agama yang ternyata salah
dalam penafsiran. Dan penyampaian keterangannya? Anggapannya sudah benar. Tak
tahunya malah mematikan pengertian yang benar. Akibatnya terperosok dalam
penerapannya. Ada pemuka agama yang ibaratnya menjadi murung. Ia hanya sekedar
mencari tempat bertengger saja. Yaitu pada batang kayu yang baik rimbun, lebat
buahnya, kuat batangnya.
Untuk
kemuliaan hidup baru. Ada orang yang berkedudukan, ada yang ikut orang kaya.
Akhirnya di masyarakatkan. Ibaratnya seperti sekedar memperoleh kemuliaan
sepele. Jadinya tersesat-sesat. Ada pula yang justru memiliki jalan terpaksa.
Menumpuk
kekayaan harta dan istri banyak. Ada pula yang memilih jalan menguasai
putranya. Putra yang bakal menguasai hak asasi orang per orang. Semuanya ingin
mendapatkan yang serba lebih di dalam memiliki jalan mereka. Kalau demikian
halnya, menurut pendapatku, belumlah mereka disebut pemuka agama yang berserah
diri sepenuhnya kepada Allah, tapi masih berkeinginan pribadi atau berambisi.
Agar semua itu menjunjung harkat dan martabat. Tatanan yang tidak pasti, belum
bisa disebut manusia utama. Yang demikian itu menurut anggapannya dan
perasaannya mendapatkan kebahagiaan, kekayaan dan mengerti hak yang benar. Bila
kemudian tertimpa kedudukan, terlanjur terbiasa. Memilih jalan sembarang
tempat, tanpa mengahasilkan jerih payahnya dan tanpa hasil. Dalam arti
mengalami kegagalan total. Setidak-tidaknya menimbulkan kecurigaan.
Apa
kebiasaan ketika hidup didunia. Ketika menghadapi datangnya maut, disitulah
biasanya tidak kuat menerima ajal. Merasa berat meninggalkan kehidupan dunia
yang tersangkal lagi. Pokoknya masih lekat sekali pada kehidupan duniawi.
Begitulah beratnya amencari kemuliaan. Tidak boleh lagi merasa terlekat kepada
anak-istri. Pada saat-saat menghadap ajatnya. Bila salah menjawab pertanyaannya
bumi, lebih baik jangan jadi manusia! Kalau matinya tanpa pertanggungjawaban.
Bila kau sudah merasa hatimu benar. Akan hidup abadi tanpa hisab. Akibatnya,
tubuh bumi itu keterdiamannya tidak membantu. Kesepiannya tidak mencair. Tidak
mempedulikan pembicaraan orang lain yang ditujukan kepadanya. Yaitu bagaimana
hilang dan mati bersama raganya ialah diidamkannya. Sehingga mempertinggi
semedinya, untuk mengejar keberhasilan. Tapi sayang tanpa petunjuk Allah,
apalagi hanya semedi semata. Tidak disertai dukungan ilmu.
Bersambung……….
————————–
Alang
Alang Kumitir
‘SULUK LING LUNG’
MENCAPAI DERAJAT INSAN KAMIL (Tamat)
Juli 8,
2009
Akibatnya
hasilnya kosong melompong. Karena hanya mengandalkan pikirnya. Ini berarti
belum mendapat tata cara hidup yang benar hakiki yang seperti ini adalah idman
yang sia-sia. Bertapanya sampai kurus kering, karena sedemikian rupa caranya
menggapai kematian. Akhirnya meninggalnya tanpa ketentuan yang benar. Karena
terlalu serius.adapun cara yang benar adalah tapa itu hanya sebagai ragi atau
pemantap pendapat. Sedangkan ilmu itu sebagai pendukung. Tapa tanpa ilmu tidak
akan berhasil. Bila ilmu tanpa tapa, rasanya hambar tidak akan memberi hasil.
Berhasil atau tidaknya tergantung pada penerapannya. Dicegah hambatannya yang
besar, sabar dan tawakal. Bukankah banyak agamawan palsu. Ajarannya
stengah-setengah. Kepada sahabatnya merasa pintar sendiri. Yang tersimpan
dihati, segera dilontarkan segala uneg-unegnya. Disampaikan kepada gurunya.
Penyampaiannya hanya berdasarkan pikiran belaka.
Dahulunya
belum mendapatkan pelajaran. Sampai tobatnya tidak merasa enak kalau
menyanggah. Lalu ikut-ikutan mendengarkan. Dengan menamakan rohaniwan yang
terbesar. Dianggapnya sudah pasti pendapatnya benar. Pendapatnya atau ilmunya
adalah wahyunya itu anugrah yang khusus diberikan pribadi. Akhirnya sahabatnya
diaku sebagai anak. Ditekan-tekankan tuntutan besar berupa ikatan batin. Oleh
guru bila sudah akan mejang atau menyampaikan ajaran, duduk merasa sering
berdekatan. Sehingga sahabat dikuasai oleh guru, dan sang guru menjadi sahabat
batin. Luansnya tanggapan bahwa segalanya merupakan merupakan wahyu Allah.
Kebaikannya, keduannya antara guru dan sahabat saling memahami. Kalau seorang
diantara mereka dianggap sebagai orang yang berilmu. Harus ditaati segala
apapun yang diucapkan itu. Misalnya berjalan juga harus disembah biasanya
bertempat di pucuk-pucuk gunung.*****
Pengaruh
ajarannya sangat mengundang perhatian menemui perguruannya. Bila ada yang
berguru atau menghadap, nasihatnya macam-macam dan banyak sekali. Seperti gong
besar yang dipukul. Bukankah ajarannya yang dibeber tidak bermutu atau
berbobot. Akibatnya rugilah mereka yang berguru? Janganlah seperti itu orang
hidup. Anggaplah ragamu sebagai wayang. Digerakkan ditempatnya. Terangnya
blencong itu ibarat panggung kehidupanmu. Lampunya bulan purnama, layar ibarat
alam jagad raya yang sepi kosong. Yang selalu menunggu-nunggu buah pikir atau
kreasi manusia. Batang pisang ibarat bumi tempat bermukim manusia. Hidupnya
ditunjang oleh yang nanggap. Penanggapnya ada di dalam rumah, istana. Tidak
diganggu oleh siapun. Boleh berbuat menurut kehendaknya. Hyang Permana
dalangnya. Wayang pelakunya. Adakalanya digerakkan ke utara oleh sutradara.
Bila semuanya digerakkan berjalan. Semua ada di tangan dalang. Dialognya
menyampaikan pesan juga. Bila bercakap lisannya itu menyampaikan berbagai
nasihat, menurut kehendaknya. Penonton dibuat terpesona, diarahkan melekat pada
dalang. Adapun yang nanggap itu selamanya tidak akan tahu. Karena ia tanpa
bentuk dan ia berada di dalam puri atau rumah atau istana. Ia tanpa warna
itulah dia Hyang Sukma. Cara Hyang Permana mendalang, mempercakapkan tanpa
dirimu. Tanpa membedakan sesama titah. Di samping itu, bukankah dia tidak
terlibat sebagai pelaku? Misalnya berada dalam tubuhmu? Atau ibarat minyak di
dalam susu? Atau api dalam kayu?.
Berhasrat
sekali karena belum diberi petunjuk sehingga menggelar doa di kayu, dakon dan
gesekan. Dengan beralatkan sesama batang pohon. Gesekan itu disebabkan oleh
angin. Hangusnya kayu, keluarlah kukunya. Tak lama kemudian apinya. Api dan
asapnya keluar dari kayu itu. Bermula dari ingat pada saat awal mulanya. Semua
yang tergelar ini berasal dari tiada. Manusia diciptakan lebih dari makhluk
yang lain. Bukankah itu yang disebut rahasia atau rahsa? Manusia itu tidak
paling mulia daripada ciptaan yang lain. Maka dari itu janganlah mudah
terpengaruh oleh buah pikirmu yang bulat. Bulat atas segala gerak dan kehendak.
Adapun isi jagad itu jangan mengira hanya manusia saja, tapi berisi segala
macam titah. Hanya saja manusia itu satu. Penguasanya satu. Yang menghidupi
jagad seisinya. Demikianlah tekad yang sempurna. Hei Syekh Malaya segeralah
menyudahi! Kembalilah kau ke pulau Jawa! Bukankah sebenarnya kau mencari dirimu
juga?.
Syekh
Malaya bergegas. Bersembah dan berkata dengan berbelas kasih untuk memenuhinya,
yang disebut Kalingga Murda,”Hamba setia dan taat”. Kanjeng Nabi Khidir lalu
musnah dan lenyap. Syekh malaya tampak berdoa di samudera. Tapi tidak tersentuh
air.
Syekh
Malaya sangat berjanji dalam hati atas peringatan atau ajaran sang guru yang
sempurna. Bukankah ia masih sangat ingat? Hasrat hati yang telah memiliki atau
mengetahui ilmu kawekas. Isinya jagad telah terkuasai dalam hati, merasa mantap
dan disimpan dalam ingatan. Sehingga serba mengetahui dan tak akan keliru lagi.
Diresapi dalam jiwa dan dijunjung sampai mati. Ia telah lulus dari sumber aroma
kasturi yang sebenarnya. Sehingga sifat panasnya hati lenyap.
Sesudah
itu Syekh Malaya kondur (pulang). Hatinya sudah tidak goyah lagi karena segala
ajaran itu tampak jelas dalam hati. Ia tidak salah lagi melihat dirinya siapa
sebenarnya. Penjelmaan jiwanya menyatu
dalam satu wujud. Walau secara lahiriah dirahasiakan. Norma atau prilaku
tat cara jiwa kesatria, berhasil dikuasai. Bukankah ia sudah menggunakan mata
batinnya yang tajam atau peka? Ibarat hewan dengan bebannya! Sudah tak ada atau
terjadi, kematian dalam kehidupan. Setelah bagaimana ia menerima ajaran
gurunya. Sama sekali tidak diragukan lagi. Seluruh ajaran gurunya sudah tamat
dan di kuasai dengan tersimpan dalam hati, serta diimankan dengan cermat.
Mematuhi semua ajaran guru. Perbuatan, pikiran dan rasa bukankah diuji dalam
hati yang suci dan bening? Benar-benar terasa sebagai anugrah Tuhan.
Sesungguhnya
sang guru benar-benar sudah hilang raganya, sudah tidak ada. Akan tetapi selalu
terbayang dalam hatinya. Dan sudah ditetapkan sebagai kekasihnya. Adapun segala
ketercelaan hati sudah lenyap. Rasanya tenanglah dunia dan akhirat. Karena kebersihan dan kesucian
jiwa sudah diketemukan. Sukma suci dalam segala tingkah lakunya itu memahami
sepaham-pahamnya.
Bukankah
sudah memahami lewat petunjuk? Sehingga tidak takut akan kematian yang sering
timbul dalam buah pikiran? Ia sudah mengharapkan bahwa raganya akan ikhlas
kalau kematian yang mulia. Yang diridhai oleh Tuhan atau Sang Hyang Widi. Namun
sebenarnya tidak ada tanggapan perasaan. Yaitu rasa seperti itu. Tiadanya
pandang atau wawasan seperti itu. Bukankah sudah lenyap semuanya. Tinggal jiwa
suci yang terpuji mulia? Mulia seperti zaman dahulu atau awalnya. Tidak
meragukan kematian yang sebenarnya. Yang menjemput maut setiap saat. Tidak
merasakan akan kematiannya. Toh yang rusak itu nafsu dan badan, jiwa hidup
abadi dan aman sejahtera. Senang, mulia dan merdeka, semuanya itu sudah
diterapkan dalam hati. Sehingga berpegang pada kuasa-Nya. Sudah mengetahui akan
makna kematian yang sebenarnya, ia tidak merasa takut kapanpun maut menjemput.
Yang sempurna ialah sudah aman, sejahtera, mulia, itulah makna yang sempurna.
Yaitu tidak meninggalkan hak-Nya. Ketujuh alam sudah lenyap. Bukankah lenyapnya
alam ini sudah jelas? Kini yang lain ibarat kau sajalah!
Penguasa
alam bukankah sudah kita ketahui? Yang bernama Abirawa yang artinya beerkuasa
dan berkehendak. Adapun alam yang keenam artinya ialah yang telah lenyap :
timur, barat, utara, selatan, atas, bawah serta kayu dan batu dan diri sendiri.
Bila kita telah mati yang ada hanya kosong dan sepi. Yang terdengar hanya deru
angin, debur air dan kobaran api di alam dahana. Matahari, bulan, bukankah
termasuk alam juga? Dua puluh tiga alam yang serba nafsu itu, semuanya habis
belaka. Walaupun bukankah sama dahulunya?.****
Syekh
Malay sudah memahami hal itu semua? Kalau itu semua adalah alam serba nafsu.
Dan alam yang sebenar-benarnya sudah jelas yaitu penguasa alam semua. Sedang
penyelarasnya hanyalah alam anbiyak ini. Alam anbiyak itu baunya harum dan
mewangi. Tapi bukan pribadi majazi. Yang hakiki yang menyelaraskan alam.
Menjadi terang dan mulia semua.
Dan
alam berarti itu ialah tempat jiwa suci, terang, bersih. Itulah alam malakut.
Artinya ialah sudah tiba menjelang alam kemuliaan. Ibarat ruangan, sekat
sebagai pemisah. Adapun alam anbiyak ialah alam mulia yang masih akan digapai.
Sifat hidup itulah kehidupannya. Tentang mana mirah mana intan. Sudah jelas nilai
dari Kumala Adi. Yaitu sebagus-bagusnya warna dari intan itu sendiri. Lenyapnya
bukankah sama dengan lainnya? Itulah alam anbiya.*********
Tamat
……………………………..
Alang Alang Kumitir.